WH DAN TANTANGANNYA ISLAM DI ACEH


1.Sejarah Wilayatul Hisbah           
       


  Institusi WH sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, "barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami." Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari'at oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggaran yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya.

          Wilayatul Hisbah (WH) adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar. Istilah wilayah
, menurut Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah, bermakna "wewenang" dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan hudud, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan.


          Pelembagaan WH dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintahan yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmany sampai akhirnya WH menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap negara muslim. Pada masa kejayaan Islam di Andalusia, institusi pengawas syariat disebut dengan mustasaf, sekarang di kalangan masyarakat Spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak negara Muslim yang masih mempraktikkan WH, seiring dengan dikuasainya negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya. Literatur tentang wilayatul hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab Fiqh. Para Ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan rinci tugas, wewenang, bentuk dan perangkat Institusi Hisbah sebagai manual pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang WH biasanya dimasukkan dalam bab al-qadha' (peradilan). Namun ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahas WH dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Bahkan Ibnu Taimiyyah--karena menganggap begitu pentingnya institusi ini-- menyusun sebuah risalah khusus landasan teori dan operasional WH dalam  kitab    al-Hisbah fi al-Islam.

          Dalam sejarah Islam, hirarki struktural WH berada di bawah lembaga peradilan. Wilayatul Hisbah bersama dengan Wilayatul Qadha dan Wilayatul Madzalim berada dibawah Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung). Ketiga institusi tersebut mempunyai peran yang sama yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan sengketa dan memberikan hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas serta wewenang. Wilayatul qadha adalah lembaga peradilan umum seperti dikenal sekarang, wilayatul madzalim adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus kesewenang-wenangan dan kezaliman pejabat pemerintah, sedangkan wilayatul hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan syari'at Islam dan amar ma'ruf nahi mungkar.

2.Tugas dan Wewenang WH

          Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; WH mempunyai tugas melaksanakan Amar ma'ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya.WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara' adalah tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.

          WH memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada dikantor.

         Namun demikian WH hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma'ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi 'uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha' atau wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan dengan
syariat Islam yang telah ditetapkan.

         Di samping mengawasi, WH juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari'at. Tentu hukuman itu berbentuk ta'zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara'. Hukuman yang dijatuhkan WH juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. Muhtasib boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang miskin, mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak si pelanggar keliling kota dan menggantungi tulisan "saya telah melanggar syariat
dan tidak akan mengulanginya lagi".

         Tentu ketika menjatuhi hukuman WH harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari'at (dzahara fi'luhu), atau tampak jelas seseorang
meninggalkan perkara syari'at (dzahara tarkuhu). Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari'at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari'at mengganggu kebebesan privasi mereka.

          Sebab itulah, untuk tahap awal yang paling penting dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan kesadaran yang sempurna di kalangan masyarakat, baik dengan ceramah ataupun yang lebih bagus tingkah laku kongkrit para penguasa yang akan menjadi contoh rakyat. Petugas Hisbah yang menjalankan tugas amar makruf nahi mungkar wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma'ruf dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang mungkar.

          Dengan dibentuknya WH di Aceh, maka setidaknya Aceh adalah negeri keempat di dunia Islam yang membentuk sebuah lembaga pemerintahan dengan tugas utama mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Ketiga negara lainnya adalah Terengganu-Malaysia, Arab Saudi berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Arab Saudi tanggal 3 september 1396H, dan Maroko dengan UU Nomor 22 tahun 1982.


3.  Pelaksanaan Syari’at Islam
          Syari’at Islam yang dalam sejarahnya di positifkan dalam rangka mereda konflik, menimbulkan ketegangan dalam penerapannya. Kurang siapnya sistem hukum nasional dalam memberi keluasaan bagi hukum Islam untuk berbenah diri merupakan alasan logis, mengingat keberadaan sestem hukum nasional sudah berusia lebih dari 50 tahun. Kemapanan hukum nasional ini menjadikan akar akar yang kuat masih menghunjam, dan sulit untuk dicabut dalam waktu cepat. Keberadaan institusi hukum nasional seperti Kepolisian, kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Lingkungan Peradilan selain Mahkamah Syar’iyah, akan menjadi tantangan besar bagi penegakan hukum Islam. Persoalan kedua terdapat dalam tatanan institusi hukum islam itu sendiri yang masih belum dirumuskan secara baik.Pembentukan Wilayatul Hisbah (WH) yang sebenarnya dimaksudkan sebagai lembaga pengingat sering dan sangat rentan  berbenturan dengan peran kepolisian. Upaya untuk membuka divisi Syariat di Kejaksaan dan Kepolisian adalah upaya mensinergikan hukum islam dalam tatanan struktur hukum nasional. Hal ini diharapkan dapat membawa nilai positif dengan berbaurnya system syariat dalam struktur hukum nasional. Namun kelemahanya adalah divisi syariat bukan komando depan tapi hanya bagian dari sestem. Sehingga Perbenturan peran dan kepentingan akan sulit dihindari apalagi system kepolisian dan kejaksaan tidak didesain untuk melaksanakan hukum Islam sejak awal

         Tantangan ini merupakan pekerjaan rumah besar  bagi para sarjana hukum Islam untuk kembali menemukan dirinya secara utuh baik dalam aturan, pranata dan institusi, tehnik tehnik pelaksanaan.  Penerapan hukuman cambuk sebagai cikal bakal penerapan jinayah secara utuh perlu mendapat perhatian secara menyeluruh, apakah cambuk akan menjadi hukuman satu satunya, disamping pidana kurungan atau denda, Dan bagaimana system Lembaga Pemasyarakatan difungsikan  menurut Syari’at Islam.

          Penerapan Hukum adat yang juga mendapat tempat strategis di NAD masih memerlukan waktu untuk berbenah untuk mendapatkan jati dirinya. Mulai dari struktur hukum adat yang telah terkikis oleh system nasional, Sumberdaya manusia yang melemah perlu mendapat pelatihan yang memadai. Hubungan erat antara hukum adat dan hukum syariat butuh penjelasan aplikatif.  Pengakuan kembali kepada struktur Mukim sebagai kumpulan beberapa desa, di satu segi akan meringankan beban pemerintahan camat, namun di lain segi juga akan menambah beban dalam pembangunan infrastruktur Institusi Pemerintahan mukim dan pelimpahan wewenang apa saja bagi mereka. Bila penyelesaian sengketa non litigasi menjadi wewenang, maka kemampuan mediasi menjadi keharusan, begitu juga administerasi perkara dalam rangka untuk memudahkan pengadilan dalam penyelesaian selanjutnya.

          Sejak Maret 2001 telah diberlakukan hukum syariat Islam di Aceh dan sudah ada contoh kasus yang berakhir di hukum cambuk seperti salah satunya adalah kasus penjudi. Baru-baru ini pun, detik.com juga memberitakan bahwa ketika grup musik peterpan manggung di Stadion Harapan Bangsa ternyata tempat penonton pria dipisahkan dengan penonton wanita oleh sebuah pembatas. Namun nyatanya, pembatas tersebut dapat dilewati dengan mudah oleh pria atau wanita , sehingga tetap saja akhirnya wanita dan pria bercampur menjadi satu. Mengutip dari detik.com ternyata banyak pula penonton wanita yang menggunakan baju ketat walaupun berbusana muslim. Akhir dari konser ini ada empat wanita di giring ke kantor polisi karena tidak mengenakan jilbab. Bagaimana kelanjutannya dengan kisah empat wanita itu saya sendiri juga kurang tahu pasti.

          Melihat kondisi itu, lalu saya membandingkan dengan kehidupan sehari-hari yang saya alami di Banda Aceh dan ternyata memang ada beberapa hal yang terlihat setelah hampir satu bulan saya berada di Tanah Rencong ini :
  1. Hampir sebagian besar wanita Aceh ketika di tempat umum ataupun berkendaraan selalu menggunakan jilbab atau minimal kerudung dan biasanya menggunakan baju lengan panjang. Hal ini berbeda dengan sebagian besar bule-bule wanita NGO yang tidak berkerudung ataupun berjilbab walaupun berada di tempat umum. Biasanya, ketika sudah sampai tempat tujuan kerudung atau jilbab tersebut akan dilepas walaupun disitu ada pria yang bukan muhrimnya.
  2. Jarang sekali saya melihat pria menggunakan celana pendek (celana hawaii) di tempat umum, mungkin di Jakarta jamak yah liat pemandangan seperti ini. Bahkan saya tidak pernah liat yang bertelanjang dada. Ah ini sih kebangetan telanjang dada di tempat umum, cuma saya juga belum pernah liat ada petani yang bertelanjang dada lagi mencangkul, abis belum sempet jalan-jalan ke sawah sih .
  3. Ketika berada di pantai Lhoknga tidak ada satu pun bule wanita yang berani menggunakan bikini atau pakaian terbuka, namun beberapa pria entah lokal atau bule berani bertelanjang dada untuk menikmati berenang di pantai. Kekekeke, gak tau kalo ada Polisi Wilayatul Hisbah ditangkep gak tuh.
  4. Sangat sulit untuk menemukan minuman beralkohol di aceh walaupun kadar alkoholnya kecil. Jangan pernah berharap anda bisa mendapatkan Anker Bir atau Bir Bintang dengan mudah di Aceh. Ditempat-tempat tertentu anda bisa mendapatkannya seperti misalnya di Cafe Country Steak yang sebagian besar pengunjungnya adalah bule. Sayangnya yang boleh memesan bir hanya orang bule, orang lokal ataupun orang Indonesia jangan berharap bisa pesan bir tersebut.
  5. Beberapa tempat rekreasi untuk umum seperti pantai Ujong Bate ditutup pintu masuknya (entah oleh siapa ditutupnya) bahkan dipalang dengan sebuah pagar kawat sehingga tidak ada orang yang dapat menikmati keindahan pantai tersebut. Mungkin pantai Ujong Bate ditutup karena sering dijadikan ajang berbuat mesum. Ini masih tebakan saya loh, sebab ada peringatan sejenis di Pantai Lhoknga yang bunyinya kurang lebih adalah Dilarang berbuat mesum di pantai ini. Ketika saya mengunjungi Pantai Ujong Bate, ternyata tetap saja ada beberapa orang yang nekat menerobos pagar tersebut untuk menikmati keindahan sunset, termasuk saya dengan beberapa rekan, namun tidak untuk tujuan mesum dong ah, plis deh .

          Jujur saya terkadang gregetan dengan beberapa aturan diatas, namun karena ini adalah sebuah hukum yang sudah diterapkan maka saya harus mematuhinya. Saya tidak akan mungkin ngotot untuk berkata bahwa saya adalah bule hanya untuk melanggar peraturan kan? Plis deh, masa iya gue kayak bule, jadi seperti orang bilang rasanya saya lebih pas untuk mengikuti sebuah peribahasa Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung.

          Sekarang ini saya jadi ingin tahu lebih lanjut, apakah memang hukum syariat Islam diterapkan karena Aceh menyandang status Serambi Mekkah? Atau karena memang keinginan semua warganya? Atau sebenarnya masih ada perbedaan cara pandang di masyarakat lokal Aceh tentang implementasi hukum Syariat Islam ini? Saya masih belum mendapatkan jawabannya.

          Sekarang ini lebih baik saya cari jalan aman dengan menutup aurat ketika berada di tempat umum dan meniadakan jatah gliyeng-gliyeng.
          Beberapa hari terakhir, berbagai media khususnya di Aceh senantiasa meletakkan berita terkait pemerkosaan yang diduga dilakukan oknum WH kota langsa sebagai berita utama. Tentu saja demikian, karena berita ini sangat mengguncang bumi serambi    mekkah.

          Tidak hanya media yang ramai membicarakannya sebagai sebuah sajian berita yang menarik pembaca. Setiap sudut kota, dusun, warung kopi. Semua orang sedang ramai membirakannya, malah ada yang menjadikannya guyonan yang asyik. "Sebuah lembaga yang dikeramatkan dan dianggap mampu menegakkan syariat islam" ternyata malah melakukan tindakan bejad dan amoral sekaligus kriminal yang melanggar perundang-undangan.

          Masyarakat telah banyak menyumpahi WH karena perbuatan segelintir orang (oknum WH), apalagi masyrakat kita yang masih suka menyamaratakan masalah. Tiga orang yang berbuat, semua WH se-Aceh seakan menjadi buruk. Semua kebaikan-kebaikan yang selama ini hilang sudah.
Masyarakat terlanjur terluka dan marah. Sebuah lembaga yang dianggap mampu membawa perbaikan dalam masyarakat, malah membuat masyarakat menjadi takut dan benci.

          Masalahnya kesalahan-kesalahan seperti ini tidak hanya sekali ini, sudah berapa banyak kass khlawat yang dilakukan oknum WH? Tapi menguap begitu saja. Ini adalah tindakan sembromo yang dilakukan lembaga WH itu sendiri. Bukankah seharusnya, jika diketahui ada yang tidak beres dalam tubuh lembaganya, seperti adanya oknum WH yang yang melalukan pelanggaran segera ditangani dan ditindak tegas setimpal dengan apa yang telah dilanggarnya. Dengan sikap tegas seperti ini maka masyarakatpun tidak akan memandang polisi syariat islam dengan sebelah mata.

Nabi    Muhammad     SAW   bersabda,
“Apakah aku harus memberikan syafaat pada hukum Allah?” Beliau kemudian berdiri untuk berpidato dan bersabda, “Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian disebabkan apabila ada salah seorang yang terpandang di antara mereka mencuri mereka membiarkannya begitu saja. Akan tetapi jika salah seorang dari mereka yang lemah (rakyat biasa) mencuri maka mereka menegakkan hukuman baginya. Demi Allah, jika saja Fatimah putri Muhammad mencuri maka aku           sendiri yang    akan    memotong       tangannya.”

          Maka baiknyalah jika ada oknum yang melanggar syariaat dan undang-undang, segeralah ditindak dan diadili sesuai dengan hukum dan pereturan yang ada.
          Memang menegakkan syariat islam itu seperti memegang bara api ditengah jaman yang kebarat-baratan saat ini. Disaat budaya permisif mulai menyerang bangsa kita, termasuk umat islam Aceh. Sehingga menjadi seorang petugas Wilayatul Hisbah adalah sebuah tanggung jawab besar yang penuh tantangan, bagi orang yang berfikir untuk benar-benar amar ma'ruf nahi mungkar. Tapi tidak bagi orang yang hanya mencari pekerjaan ditengah sulitnya lapangan kerja. Atau hanya karena ada saudaranya yang menjadi WH juga.
        
           Berbagai kalangan meminta agar ekruitmen personel WH kedepan harus diperketat, setidaknya calon WH harus paham agama, memiliki jiwa pengayom, dan utamakan yang sudah berkeluarga. Serta melihat latar belakang sang calon, seperti akhlaq, pendidikan dan keluarganya. Agar kedepanya tidak lagi ada kasus-kasus perusakan citra WH sebagai polisi penegak syariat yang dilakukan oknum sendiri. Karena bagaimanapun untuk menegakkan syariat islam, WH masih kita butuhkan sebagai polisi syariat. Namun pastinya dengan harapan WH benar-benar diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Dan pemerintah daerahpun harus memperhatikan tentang kesejahteraan anggota WH agar mereka bertugas dengan baik tanpa harus memikirkan perut orang-orang yang menjadi tanggungannya.

4.   TANTANGAN ISLAM DI ACEH, MASA KINI DAN MASA DEPAN
Asumsi yang keliru
          Berbicara tentangan Islam di Aceh tentulah terpikirkan oleh kita hal ini tidak jauh dari berbicara syariat Islam. Seakan-akan syariat Islam dan implementasinya merupakan sesuatu yang langka, aneh, dan asing. Bahkan ada yang mengklaim bahwa syariat Islam itu baru saja mulai jadi perlu adaptasi antar sesama, disini satu pihak mendalami karakter satu sama lain dan berkomitmen agar tidak menyulitkan satu sama lain. Berpikir tentang adaptasi antar sesama dan berkomitmen agar tidak menyulitkan satu sama lain. Mengkaji kata-kata di atas kita akan menyadari bahwa ini menyangkut dengan toleransi, dan pemahamannya sendiri begitu luas, tidak spesifik.Pernyataan di atas sebagai toleransi sebebas-bebasnya. Ini juga bermakna bahwa kita (muslim) mesti mentolerir dan membiarkan para penzina dan muslim/muslimah yang yang tidak menjalankan perintah Allah seperti untuk menutup aurat dengan berpakaian islami yang menutup seluruh auratnya dan untuk tidak bersentuhan/berdekat-dekatan dengan yang bukan muhrimnya. Namun sekarang banyak kita lihat di jalanan yang tidak konsisten lagi dengan hukum Allah, dalam artian harus dipertanyakan lagi ke Islamannya, menurut saya ini adalah tindakan pengecut bermental kerupuk.

           Seharusnya kita menyadari bahwa seandainya kita mengikuti statemen itu sama saja kita bahu membahu dalam kemungkaran sedangkan hal yang demikian haram     dalam  Islam.

          Rasul bersabda dalam sebuah hadits lebih kurang isinya seperti ini “apabila kita menjumpai kemungkaran maka hal pertama yang harus dilakukan, cegahlah dengan tanganmu, bila engkau tidak mampu maka cegahlah dengan perkataan, namun bila tidak mampu juga maka kutuklah perbuatan keji (kemungkaran) itu dalam hatimu yang demikian adalah selemah-lemahnya iman”. Saya ingin memberikan apresiasi kepada WH yang telah dan sedang menjalankan syariat Islam dengan gagah berani mencegah kemungkaran dengan tangan (perbuatan/kekuatan) hampir semua  rakyat Aceh bangga dengan anda (WH).

          Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak orang salah memahami suatu hukum syariah. Seperti aurat perempuan, banyak wanita yang menyangka mereka hanya wajib mengenakan pakaian yang menutupi aurat saja, sekedar tak terlihat tubuh saja. Namun bentuk tubuhnya terlihat dengan jelas. Ironis sekali kalau pemahamannya hanya sebatas itu. Padahal mereka harus berpakaian yang longgar sehingga tidak terlihat bentuk/lekuk tubuhnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a: rasul bersabda “ada dua penduduk neraka yang belum terlihat oleh ku; 1. Kaum yang memiliki cambuk seperti seekor sapi dan cambuk itu digunakan untuk memukul orang. 2. Wanita-wanita yang berpakaian akan tetapi sama halnya mereka telanjang (pakaiannya terlalu tipis, ketat, dan lekuk tubuhnya masih nampak jelas yang tetap merangsang para pria), dan wanita-wanita yang mudah dirayu atau pandai merayu. Rambut mereka disasak laksana punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak akan masuk syurga dan bahkan tidak bisa mencium bau syurga, padahal bau syurga dapat dicium dari jarak yang sangat jauh”. Semoga para wanita yang demikian menyadari dan kembali ke jalan yang diridhai  Allah.
                                                                                               
          Kalau kita bertanya pada ahlinya maka jawaban yang kita dapat adalah TOLERANSI MEMILIKI BATAS. Kembali ke toleransi yang menoleransi penzina dan orang-orang yang melanggar aturan Allah, menurut referensi saya Al-qur’an dan hadits yang asli yang berasal dari rasulullah, saya tidak mendapatkan satu rujukanpun tentang menoleransi perbuatan yang keji dan mungkar jadi hal semacam itu tidak dapat ditoleransi. Apalagi menyangkut aurat wanita yang dampak negatif yang bisa ditimbulkannya begitu besar. Saya akan memberi sebuah contoh yang logis “seorang wanita dengan pakaian ketat dan lekuk tubuhnya nampak jelas terlihat, hal ini akan mengundang para pria untuk melirik, mengganggu, menggoda, dan yang sangat dikhawatirkan timbulnya sexual drive (nafsu) maka terbuka lebarlah pintu pemerkosaan atau pelecehan”. Jika wanita itu diperkosa siapa    yang salah? Paling pelakunya dipenjara sesaat.

          Namun bila kita menjalankan syariat Islam. Wanita berpakaian yang Islami menutupi aurat dan lekuk tubuhnya tak terlihat, bila pria melihatnya maka pria harus menundukkan pandangannya dan seandainya pria tersebut tetap memperkosanya maka hukuman dera 100 kali+dilempari siapa saja yang melihat dan hukuman sampai mati bagi yang sudah menikah diberlakukan baginya. Kalau ini yang diterapkan Saya ingin bertanya, apakah kasus pemerkosaan dan perzinaan bertambah atau berkurang? Jawabannya sudah pasti berkurang.
Sebuah program di channel International yaitu “BBC” yang membicarakan tentang sebuah negara seperti Nigeria yang memberlakukan syariat Islam dan menjalankan hukuman cambuk 100 kali sampai mati bagi pemerkosa dan penzina, kasus pemerkosaan dan hubungan badan diluar nikah (perzinaan) menurun drastis. Sebaliknya America negara yang mengagungkan kebebasan/toleransi tanpa batas. Laporan Statistik America di Washington mencatat telah terjadi 1750 kasus pemerkosaan setiap harinya pada tahun 1990. Pada tahun 1996 Departemen Keadilan America telah mencatat 2730 kasus pemerkosaan yang terjadi setiap harinya. Ini berarti telah terjadi satu kasus pemerkosaan setiap 20 detik, coba anda bayangkan kita sedang duduk di kampus selama 2 jam berarti sudah terjadi 200 kasus pemerkosaan lebih di America. Bagaimana dengan kasus perkosaan pada tahun 2009? Wallahu a’lam          itu        yang    dapat  kita      katakan.

          Kalau Aceh dibiarkan berlarut-larut seperti ini bukan tidak mungkin akan terjadi hal yang sama seperti di America. Negara yang kasus pemerkosaan terkecil di dunia adalah Arab Saudi, namun masih ada juga yang salah disana, tetapi ada yang bisa dipelajari. Ada sebuah kata bijak yang saya ingat yaitu “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Mari kita cegah bersama agar hal yang menimpa America         tidak    terjadi  di Aceh.

5.   Tanggung Jawab Syariat Islam
          Penerapan syariat Islam yang khaffah adalah tanggung jawab pemerintah (WH) dan masyarakat umumnya, namun pada dasarnya tanggung jawab itu secara utuh juga dipikul oleh kepala keluarga. Lingkungan pertama itu adalah keluarga, kepala keluarga sebagai nakhoda dalam sebuah rumah tangga bertanggung jawab untuk memberikan pemahaman tentang Islam yang lengkap dan benar kepada seluruh anggota keluarga. Tidakkah pakaian kebanyakan putri-putri remaja muslim semakin aneh-aneh, span, transparan dan semakin tidak sopan? Bahkan di jalanan seputaran Darussalam saja banyak sekali muda mudi/putra putri secara terang terangan berboncengan, muda mudi memadu kasih di atas kendaraan tanpa hubungan yang sah. Ini tamparan keras bagi daerah yang digelar SEURAMOE MEKKAH. Tidakkah kita malu?

          Perilaku kebanyakan kita belum mencerminkan Al-qur’an dan budaya hidup kita bukan budaya yang bersumber dari Al-qur’an. Justru malah sebaliknya ummat terasa makin jauh dari ajaran Al-qur’an. Tidakkah budaya barat telah menjadi pedoman kebanyakan orang-orang yang berKTP Islam bukan lagi Al-qur’an dan hadits? Ironis   memang.

          WH selaku petugas yang sangat berwenang dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Kokohkan dan bumikan tugas mulia ini, “sekali kaki melangkah ke depan pantang surut mundur ke belakang” sedikit kutipan membumikan cita-cita ala rasulullah. Ketika para sahabat rasul berhenti menggali parit untuk pertahanan di Madinah karena batu besar yang tak bisa dihancurkan, kemudian kabar itu terdengar juga oleh rasul kemudian beliau datang dengan sebuah beliung. “Bismillah” beliau menghantam pukulan pertama disertai lafadz”Allahu akbar” aku diberi kunci Negeri Syam demi Allah aku melihat istananya yang merah, yang kedua”Allahu akbar” aku diberi kunci Negeri Persia, demi Allah aku melihat istananya yang putih, yang ke tiga”Allahu akbar” aku diberi kunci Negeri Yaman demi Allah aku benar-benar melihat pintu syan’a dari tempatku ini. Harcurlah batu itu kemudian nabi bersabda “aku diberi tahu Jibril bahwa ummatku akan menguasai semuanya”.

           Potret cita-cita rasul itu sangat luar biasa, ucapan-ucapan beliau itulah cita-citanya dan pukulan bertubi-tubi itu merupakan usaha yang pantang menyerah untuk meraih kesuksesan. Begitu juga halnya dengan syariat Islam di Aceh sendiri. Namun sayangnya hal itu masih belum terealisasi sampai saat ini. Memang menjalankan syariat Islam bukanlah hal mudah namun itulah tantangan yang harus dihadapi umat Islam, Aceh khususnya. Disadari atau tidak perlawanan dan penolakan terhadap syariat Islam sudah mendunia (Internasional). Di Aceh sendiri banyak kendala dan kontroversi di kalangan tokoh Aceh sendiri. Memang segelintir orang yang tidak setuju untuk tegaknya syariat islam di Aceh, malah didukung dengan berbagai alasan yang kurang logis. Takut investor tidak tidak berinvestasilah, hak asasi manusialah Padahal sudah fakta bahwa Islam the only solution. Mungkin mereka takut kehilangan yang mereka sebut dengan kesenangan merekalah hedonisme, sayangnya justru mereka orang-orang yang berpengaruh. Sekali lagi dukungan untuk WH neukap igoe neu sepot teh yang neu tumee “keraskan tekat tangkap siapapun dia tanpa pandang bulu” itu baru syariat Islam. Allahuakbar!!!

6.    Dinamika Hukum Setelah  Gempa dan  Tsunami
           Dalam hiruk pikuk ‘darurat sipil’ diatas gempa dan tsunami menerjang sebagian besar wilayah NAD, yang tidak hanya menghancurkan infrastruktur Fisik, tetapi juga merusak tatanan kehidupan masyarakat termasuk hukum. Peristiwa yang maha dahsyat tersebut telah merenggut ratusan ribu nyawa manusia, menghancurkan infrastruktur, pertokoan, rumah, hilangnya dokumen identitas, dan dokumen hukum lainnya.

          Dalam masa darurat telah terjadi pula berbagai tindak  kejahatan seperti penjarahan, perampasan hak milik, dugaan terjadinya perdagangan anak (child trafficking) dan kurangnya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Seiring dengan tindak kejahatan tersebut, telah muncul pula masalah hukum lain yang memerlukan penyelesaian segera seperti masalah harta warisan, perkawinan, perceraian, perwalian, pengasuhan anak, hak-hak kebendaan, dan terbatasnya akses masyarakat memperoleh informasi hukum.    

          Realitas di atas menggambarkan institusi publik termasuk institusi hukum dalam masa darurat tidak berfungsi sama sekali. Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat), harus mampu memberikan jaminan hak dan perlindungan hukum kepada  warganya termasuk dalam kondisi darurat. Warga negara semestinya merasakan bahwa hukum dapat memberikan pengayoman  tertentu. dalam setiap gerak dan langkahnya, tanpa dibatasi oleh suatu keadaan

          Hukum dalam kenyataan masyarakat memiliki fungsi sebagai kontrol sosial (social control), instrumen penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan alat rekayasa masyarakat (social engineering). Hukum sebagai kontrol sosial dirasakan sangat lemah. Kontrol sosial formal melalui lembaga peradilan yang di dalamnya melibatkan kepolisian dan kejaksaan, tidak mampu memberikan jera kepada pelanggar hukum. Dalam kasus korupsi misalnya, hukum seperti tidak berdaya  berhadapan dengan koruptor yang diback-up oleh oknum aparat penegak hukum. Namun, pada sisi lain, hukum terkesan tegas jika yang dihadapi adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan.

          Dalam konteks ini pula, kontrol sosial oleh masyarakat  melalui mekanisme adat juga dirasakan sangat tidak berdaya. Warga mulai tidak lagi merasakan perlunya sanksi adat terhadap pelanggaran norma sosial, norma hukum dan norma agama.   Akibatnya tidak ada lagi rasa segan dan takut  melanggar hukum dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Realitas ini memperlihatkan krisis nilai adat dalam kenyataan  sosial. Padahal adat merupakan norma yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat.Hukum sebagai instrumen  penyelesaian sengketa (dispute settlement) sebenarnya sudah mulai mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam bidang keperdataan misalnya, masyarakat sudah mulai memilih proses hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan (arbitrase).  Hukum akhirnya begitu mahal, birokratis, dan jauh dari rasa keadilan. Dalam penyelesaian kasus melalui jalur peradilan, masyarakat berhadapan dengan kondisi lain di mana, masih dirasakan semangat aparatur penegak hukum yang lemah.

          Dimensi terakhir dari fungsi  hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial. Hukum yang dihasilkan harus mampu menciptakan kondisi yang mengarahkan warga agar berprilaku baik, dan dapat membawa kesejahteraan baik bagi individu maupun lingkungan sosial. Hukum harus mampu merespon setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dimensi ini hukum bersifat dinamis dan tidak bersifat statis. Ketiga dimensi hukum di atas  sudah semestinya diwujudkan dalam negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

          WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar.
7.   Pengalaman Aceh
          Aceh menjadi daerah yang unik dengan membentuk dan mengembangkan kembali institusi keIslaman yang nyaris punah ini. Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di bawah Dinas Syariat Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai "jantung" dalam Dinas Syariat Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan syariat. Untuk itu
landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas WH menegakkan syariat.

          Landasan hukum tersebut perlu juga mengatur bagaimana memilih dan mengangkat anggota WH. Sepatutnya orang yang menduduki jabatan WH bukanlah orang sembarangan, ia mestilah orang yang terkenal baik dan saleh, tidak berperangai buruk, mengetahui hukum-hukum Islam, berintegrasi dan professional. Kalau kita merujuk kitab-kitab lama yang membahas WH, maka kita akan dapati ulama-ulama terkenal menduduki jabatan ini. Kesalahan dalam melantik petugas WH akan menimbulkan kemarahan masyarakat yang berujung pada penentangan eksistensi institusi ini secara  keseluruhan.

          Pembentukan institusi ini sebenarnya adalah sangat positif dan perlu dukungan padu semua pihak. Terutama ketika budaya amar ma'ruf nahi mungkar semakin hilang di kalangan masyarakat. Kunci kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud, yaitu masyarakat dengan standar moral yang tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, WH tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat pemerintah lainnya telah gagal menumbuhkan kesadaran melaksanakan syari'at.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar anda

ALAT ALAT KERJA LISTRIK

ALAT ALAT KERJA LISTRIK Tang Potong Tang buaya Tang Kombinasi Tespen