1.Sejarah Wilayatul Hisbah
Institusi WH sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, "barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami." Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari'at oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggaran yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya.
Institusi WH sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, "barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami." Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari'at oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggaran yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya.
Wilayatul Hisbah (WH) adalah
departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar. Istilah wilayah
, menurut Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah, bermakna "wewenang" dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan hudud, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan.
, menurut Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar'iyyah, bermakna "wewenang" dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan hudud, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan.
Pelembagaan WH dengan struktur yang lebih
sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan
menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintahan yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmany sampai akhirnya WH menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap negara muslim. Pada masa kejayaan Islam di Andalusia, institusi pengawas syariat disebut dengan mustasaf, sekarang di kalangan masyarakat Spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak negara Muslim yang masih mempraktikkan WH, seiring dengan dikuasainya negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang
bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya. Literatur tentang wilayatul hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab Fiqh. Para Ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan rinci tugas, wewenang, bentuk dan perangkat Institusi Hisbah sebagai manual pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang WH biasanya dimasukkan dalam bab al-qadha' (peradilan). Namun ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahas WH dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Bahkan Ibnu Taimiyyah--karena menganggap begitu pentingnya institusi ini-- menyusun sebuah risalah khusus landasan teori dan operasional WH dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam.
Dalam sejarah Islam, hirarki
struktural WH berada di bawah lembaga peradilan. Wilayatul Hisbah bersama dengan Wilayatul Qadha dan Wilayatul Madzalim berada dibawah Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung). Ketiga institusi tersebut mempunyai peran yang sama yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan sengketa dan memberikan hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas serta wewenang. Wilayatul qadha adalah lembaga peradilan umum seperti dikenal sekarang, wilayatul madzalim adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus kesewenang-wenangan dan kezaliman pejabat pemerintah, sedangkan wilayatul hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan syari'at Islam dan amar ma'ruf nahi mungkar.
2.Tugas dan Wewenang WH
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; WH mempunyai tugas melaksanakan Amar ma'ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya.WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara' adalah tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; WH mempunyai tugas melaksanakan Amar ma'ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya.WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara' adalah tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.
WH memasuki lorong-lorong kecil di
kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada dikantor.
Namun demikian WH hanya bertugas
mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma'ruf di kalangan masyarakat.
Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi 'uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha' atau wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan dengan
syariat Islam yang telah ditetapkan.
syariat Islam yang telah ditetapkan.
Di samping mengawasi, WH juga mempunyai
wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar
syari'at. Tentu hukuman itu berbentuk ta'zir, yaitu hukuman yang diputuskan
berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara'.
Hukuman yang dijatuhkan WH juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. Muhtasib boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang miskin, mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak si pelanggar keliling kota dan menggantungi tulisan "saya telah melanggar syariat
dan tidak akan mengulanginya lagi".
Tentu ketika menjatuhi hukuman WH harus
sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang
betul-betul melanggar syari'at (dzahara fi'luhu), atau tampak jelas seseorang
meninggalkan perkara syari'at (dzahara tarkuhu). Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari'at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari'at mengganggu kebebesan privasi mereka.
meninggalkan perkara syari'at (dzahara tarkuhu). Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari'at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari'at mengganggu kebebesan privasi mereka.
Sebab itulah, untuk tahap awal yang
paling penting dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan kesadaran yang sempurna di kalangan masyarakat, baik dengan ceramah ataupun yang lebih bagus tingkah laku kongkrit para penguasa yang akan menjadi contoh rakyat. Petugas Hisbah yang menjalankan tugas amar makruf nahi mungkar wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma'ruf dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang mungkar.
Dengan dibentuknya WH di Aceh, maka
setidaknya Aceh adalah negeri keempat di dunia Islam yang membentuk sebuah lembaga pemerintahan dengan tugas utama mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Ketiga negara lainnya adalah Terengganu-Malaysia, Arab Saudi berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Arab Saudi tanggal 3 september 1396H, dan Maroko dengan UU Nomor 22 tahun 1982.
3. Pelaksanaan Syari’at Islam
Syari’at Islam yang dalam sejarahnya
di positifkan dalam rangka mereda konflik, menimbulkan ketegangan dalam
penerapannya. Kurang siapnya sistem hukum nasional dalam memberi keluasaan bagi
hukum Islam untuk berbenah diri merupakan alasan logis, mengingat keberadaan
sestem hukum nasional sudah berusia lebih dari 50 tahun. Kemapanan hukum
nasional ini menjadikan akar akar yang kuat masih menghunjam, dan sulit untuk dicabut
dalam waktu cepat. Keberadaan institusi hukum nasional seperti Kepolisian,
kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Lingkungan Peradilan selain Mahkamah
Syar’iyah, akan menjadi tantangan besar bagi penegakan hukum Islam. Persoalan
kedua terdapat dalam tatanan institusi hukum islam itu sendiri yang masih belum
dirumuskan secara baik.Pembentukan Wilayatul Hisbah (WH) yang sebenarnya
dimaksudkan sebagai lembaga pengingat sering dan sangat rentan
berbenturan dengan peran kepolisian. Upaya untuk membuka divisi Syariat di
Kejaksaan dan Kepolisian adalah upaya mensinergikan hukum islam dalam tatanan
struktur hukum nasional. Hal ini diharapkan dapat membawa nilai positif dengan
berbaurnya system syariat dalam struktur hukum nasional. Namun kelemahanya
adalah divisi syariat bukan komando depan tapi hanya bagian dari sestem.
Sehingga Perbenturan peran dan kepentingan akan sulit dihindari apalagi system
kepolisian dan kejaksaan tidak didesain untuk melaksanakan hukum Islam sejak
awal
Tantangan ini merupakan pekerjaan
rumah besar bagi para sarjana hukum Islam untuk kembali menemukan dirinya
secara utuh baik dalam aturan, pranata dan institusi, tehnik tehnik
pelaksanaan. Penerapan hukuman cambuk sebagai cikal bakal penerapan
jinayah secara utuh perlu mendapat perhatian secara menyeluruh, apakah cambuk
akan menjadi hukuman satu satunya, disamping pidana kurungan atau denda, Dan
bagaimana system Lembaga Pemasyarakatan difungsikan menurut Syari’at
Islam.
Penerapan Hukum adat yang juga
mendapat tempat strategis di NAD masih memerlukan waktu untuk berbenah untuk
mendapatkan jati dirinya. Mulai dari struktur hukum adat yang telah terkikis
oleh system nasional, Sumberdaya manusia yang melemah perlu mendapat pelatihan
yang memadai. Hubungan erat antara hukum adat dan hukum syariat butuh
penjelasan aplikatif. Pengakuan kembali kepada struktur Mukim sebagai
kumpulan beberapa desa, di satu segi akan meringankan beban pemerintahan camat,
namun di lain segi juga akan menambah beban dalam pembangunan infrastruktur
Institusi Pemerintahan mukim dan pelimpahan wewenang apa saja bagi mereka. Bila
penyelesaian sengketa non litigasi menjadi wewenang, maka kemampuan mediasi
menjadi keharusan, begitu juga administerasi perkara dalam rangka untuk
memudahkan pengadilan dalam penyelesaian selanjutnya.
Sejak Maret
2001 telah diberlakukan hukum syariat Islam di Aceh dan sudah ada contoh kasus
yang berakhir di hukum cambuk seperti salah satunya adalah kasus penjudi. Baru-baru ini pun, detik.com juga
memberitakan bahwa ketika grup musik peterpan manggung di Stadion Harapan
Bangsa ternyata tempat penonton pria dipisahkan dengan penonton wanita oleh sebuah pembatas. Namun
nyatanya, pembatas tersebut dapat dilewati dengan mudah oleh pria atau wanita ,
sehingga tetap saja akhirnya wanita dan pria bercampur menjadi satu. Mengutip
dari detik.com ternyata banyak pula penonton wanita yang menggunakan baju ketat
walaupun berbusana muslim. Akhir dari konser ini ada empat wanita di giring ke
kantor polisi karena tidak mengenakan jilbab. Bagaimana kelanjutannya dengan
kisah empat wanita itu saya sendiri juga kurang tahu pasti.
Melihat
kondisi itu, lalu saya membandingkan dengan kehidupan sehari-hari yang saya
alami di Banda Aceh dan ternyata memang ada beberapa hal yang terlihat setelah
hampir satu bulan saya berada di Tanah Rencong ini :
- Hampir sebagian besar wanita Aceh ketika di tempat umum ataupun berkendaraan selalu menggunakan jilbab atau minimal kerudung dan biasanya menggunakan baju lengan panjang. Hal ini berbeda dengan sebagian besar bule-bule wanita NGO yang tidak berkerudung ataupun berjilbab walaupun berada di tempat umum. Biasanya, ketika sudah sampai tempat tujuan kerudung atau jilbab tersebut akan dilepas walaupun disitu ada pria yang bukan muhrimnya.
- Jarang sekali saya melihat pria menggunakan celana pendek (celana hawaii) di tempat umum, mungkin di Jakarta jamak yah liat pemandangan seperti ini. Bahkan saya tidak pernah liat yang bertelanjang dada. Ah ini sih kebangetan telanjang dada di tempat umum, cuma saya juga belum pernah liat ada petani yang bertelanjang dada lagi mencangkul, abis belum sempet jalan-jalan ke sawah sih .
- Ketika berada di pantai Lhoknga tidak ada satu pun bule wanita yang berani menggunakan bikini atau pakaian terbuka, namun beberapa pria entah lokal atau bule berani bertelanjang dada untuk menikmati berenang di pantai. Kekekeke, gak tau kalo ada Polisi Wilayatul Hisbah ditangkep gak tuh.
- Sangat sulit untuk menemukan minuman beralkohol di aceh walaupun kadar alkoholnya kecil. Jangan pernah berharap anda bisa mendapatkan Anker Bir atau Bir Bintang dengan mudah di Aceh. Ditempat-tempat tertentu anda bisa mendapatkannya seperti misalnya di Cafe Country Steak yang sebagian besar pengunjungnya adalah bule. Sayangnya yang boleh memesan bir hanya orang bule, orang lokal ataupun orang Indonesia jangan berharap bisa pesan bir tersebut.
- Beberapa tempat rekreasi untuk umum seperti pantai Ujong Bate ditutup pintu masuknya (entah oleh siapa ditutupnya) bahkan dipalang dengan sebuah pagar kawat sehingga tidak ada orang yang dapat menikmati keindahan pantai tersebut. Mungkin pantai Ujong Bate ditutup karena sering dijadikan ajang berbuat mesum. Ini masih tebakan saya loh, sebab ada peringatan sejenis di Pantai Lhoknga yang bunyinya kurang lebih adalah Dilarang berbuat mesum di pantai ini. Ketika saya mengunjungi Pantai Ujong Bate, ternyata tetap saja ada beberapa orang yang nekat menerobos pagar tersebut untuk menikmati keindahan sunset, termasuk saya dengan beberapa rekan, namun tidak untuk tujuan mesum dong ah, plis deh .
Jujur saya terkadang gregetan dengan beberapa aturan diatas, namun karena ini adalah sebuah hukum yang sudah diterapkan maka saya harus mematuhinya. Saya tidak akan mungkin ngotot untuk berkata bahwa saya adalah bule hanya untuk melanggar peraturan kan? Plis deh, masa iya gue kayak bule, jadi seperti orang bilang rasanya saya lebih pas untuk mengikuti sebuah peribahasa Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung.
Sekarang ini
saya jadi ingin tahu lebih lanjut, apakah memang hukum syariat Islam diterapkan
karena Aceh menyandang status Serambi Mekkah? Atau karena memang keinginan
semua warganya? Atau sebenarnya masih ada perbedaan cara pandang di masyarakat
lokal Aceh tentang implementasi hukum Syariat Islam ini? Saya masih belum
mendapatkan jawabannya.
Sekarang ini
lebih baik saya cari jalan aman dengan menutup aurat ketika berada di tempat
umum dan meniadakan jatah gliyeng-gliyeng.
Beberapa
hari terakhir, berbagai media khususnya di Aceh senantiasa meletakkan berita
terkait pemerkosaan yang diduga dilakukan oknum WH kota langsa sebagai berita
utama. Tentu saja demikian, karena berita ini sangat mengguncang bumi serambi mekkah.
Tidak hanya media yang ramai membicarakannya sebagai sebuah sajian berita yang menarik pembaca. Setiap sudut kota, dusun, warung kopi. Semua orang sedang ramai membirakannya, malah ada yang menjadikannya guyonan yang asyik. "Sebuah lembaga yang dikeramatkan dan dianggap mampu menegakkan syariat islam" ternyata malah melakukan tindakan bejad dan amoral sekaligus kriminal yang melanggar perundang-undangan.
Masyarakat telah banyak menyumpahi WH karena perbuatan segelintir orang (oknum WH), apalagi masyrakat kita yang masih suka menyamaratakan masalah. Tiga orang yang berbuat, semua WH se-Aceh seakan menjadi buruk. Semua kebaikan-kebaikan yang selama ini hilang sudah. Masyarakat terlanjur terluka dan marah. Sebuah lembaga yang dianggap mampu membawa perbaikan dalam masyarakat, malah membuat masyarakat menjadi takut dan benci.
Tidak hanya media yang ramai membicarakannya sebagai sebuah sajian berita yang menarik pembaca. Setiap sudut kota, dusun, warung kopi. Semua orang sedang ramai membirakannya, malah ada yang menjadikannya guyonan yang asyik. "Sebuah lembaga yang dikeramatkan dan dianggap mampu menegakkan syariat islam" ternyata malah melakukan tindakan bejad dan amoral sekaligus kriminal yang melanggar perundang-undangan.
Masyarakat telah banyak menyumpahi WH karena perbuatan segelintir orang (oknum WH), apalagi masyrakat kita yang masih suka menyamaratakan masalah. Tiga orang yang berbuat, semua WH se-Aceh seakan menjadi buruk. Semua kebaikan-kebaikan yang selama ini hilang sudah. Masyarakat terlanjur terluka dan marah. Sebuah lembaga yang dianggap mampu membawa perbaikan dalam masyarakat, malah membuat masyarakat menjadi takut dan benci.
Masalahnya
kesalahan-kesalahan seperti ini tidak hanya sekali ini, sudah berapa banyak
kass khlawat yang dilakukan oknum WH? Tapi menguap begitu saja. Ini adalah
tindakan sembromo yang dilakukan lembaga WH itu sendiri. Bukankah seharusnya,
jika diketahui ada yang tidak beres dalam tubuh lembaganya, seperti adanya
oknum WH yang yang melalukan pelanggaran segera ditangani dan ditindak tegas
setimpal dengan apa yang telah dilanggarnya. Dengan sikap tegas seperti ini
maka masyarakatpun tidak akan memandang polisi syariat islam dengan sebelah mata.
Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Apakah aku harus memberikan syafaat pada hukum Allah?” Beliau kemudian berdiri untuk berpidato dan bersabda, “Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian disebabkan apabila ada salah seorang yang terpandang di antara mereka mencuri mereka membiarkannya begitu saja. Akan tetapi jika salah seorang dari mereka yang lemah (rakyat biasa) mencuri maka mereka menegakkan hukuman baginya. Demi Allah, jika saja Fatimah putri Muhammad mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Apakah aku harus memberikan syafaat pada hukum Allah?” Beliau kemudian berdiri untuk berpidato dan bersabda, “Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian disebabkan apabila ada salah seorang yang terpandang di antara mereka mencuri mereka membiarkannya begitu saja. Akan tetapi jika salah seorang dari mereka yang lemah (rakyat biasa) mencuri maka mereka menegakkan hukuman baginya. Demi Allah, jika saja Fatimah putri Muhammad mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Maka baiknyalah jika ada oknum yang melanggar syariaat dan undang-undang, segeralah ditindak dan diadili sesuai dengan hukum dan pereturan yang ada.
Memang menegakkan syariat islam itu
seperti memegang bara api ditengah jaman yang kebarat-baratan saat ini. Disaat
budaya permisif mulai menyerang bangsa kita, termasuk umat islam Aceh. Sehingga
menjadi seorang petugas Wilayatul Hisbah adalah sebuah tanggung jawab besar
yang penuh tantangan, bagi orang yang berfikir untuk benar-benar amar ma'ruf
nahi mungkar. Tapi tidak bagi orang yang hanya mencari pekerjaan ditengah
sulitnya lapangan kerja. Atau hanya karena ada saudaranya yang menjadi WH juga.
Berbagai kalangan meminta agar ekruitmen
personel WH kedepan harus diperketat, setidaknya calon WH harus paham agama,
memiliki jiwa pengayom, dan utamakan yang sudah berkeluarga. Serta melihat
latar belakang sang calon, seperti akhlaq, pendidikan dan keluarganya. Agar
kedepanya tidak lagi ada kasus-kasus perusakan citra WH sebagai polisi penegak
syariat yang dilakukan oknum sendiri. Karena bagaimanapun untuk menegakkan
syariat islam, WH masih kita butuhkan sebagai polisi syariat. Namun pastinya dengan
harapan WH benar-benar diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Dan pemerintah
daerahpun harus memperhatikan tentang kesejahteraan anggota WH agar mereka
bertugas dengan baik tanpa harus memikirkan perut orang-orang yang menjadi tanggungannya.
4. TANTANGAN ISLAM DI ACEH, MASA KINI
DAN MASA DEPAN
Asumsi yang keliru
Berbicara tentangan Islam di Aceh tentulah terpikirkan oleh kita hal ini tidak jauh dari berbicara syariat Islam. Seakan-akan syariat Islam dan implementasinya merupakan sesuatu yang langka, aneh, dan asing. Bahkan ada yang mengklaim bahwa syariat Islam itu baru saja mulai jadi perlu adaptasi antar sesama, disini satu pihak mendalami karakter satu sama lain dan berkomitmen agar tidak menyulitkan satu sama lain. Berpikir tentang adaptasi antar sesama dan berkomitmen agar tidak menyulitkan satu sama lain. Mengkaji kata-kata di atas kita akan menyadari bahwa ini menyangkut dengan toleransi, dan pemahamannya sendiri begitu luas, tidak spesifik.Pernyataan di atas sebagai toleransi sebebas-bebasnya. Ini juga bermakna bahwa kita (muslim) mesti mentolerir dan membiarkan para penzina dan muslim/muslimah yang yang tidak menjalankan perintah Allah seperti untuk menutup aurat dengan berpakaian islami yang menutup seluruh auratnya dan untuk tidak bersentuhan/berdekat-dekatan dengan yang bukan muhrimnya. Namun sekarang banyak kita lihat di jalanan yang tidak konsisten lagi dengan hukum Allah, dalam artian harus dipertanyakan lagi ke Islamannya, menurut saya ini adalah tindakan pengecut bermental kerupuk.
Berbicara tentangan Islam di Aceh tentulah terpikirkan oleh kita hal ini tidak jauh dari berbicara syariat Islam. Seakan-akan syariat Islam dan implementasinya merupakan sesuatu yang langka, aneh, dan asing. Bahkan ada yang mengklaim bahwa syariat Islam itu baru saja mulai jadi perlu adaptasi antar sesama, disini satu pihak mendalami karakter satu sama lain dan berkomitmen agar tidak menyulitkan satu sama lain. Berpikir tentang adaptasi antar sesama dan berkomitmen agar tidak menyulitkan satu sama lain. Mengkaji kata-kata di atas kita akan menyadari bahwa ini menyangkut dengan toleransi, dan pemahamannya sendiri begitu luas, tidak spesifik.Pernyataan di atas sebagai toleransi sebebas-bebasnya. Ini juga bermakna bahwa kita (muslim) mesti mentolerir dan membiarkan para penzina dan muslim/muslimah yang yang tidak menjalankan perintah Allah seperti untuk menutup aurat dengan berpakaian islami yang menutup seluruh auratnya dan untuk tidak bersentuhan/berdekat-dekatan dengan yang bukan muhrimnya. Namun sekarang banyak kita lihat di jalanan yang tidak konsisten lagi dengan hukum Allah, dalam artian harus dipertanyakan lagi ke Islamannya, menurut saya ini adalah tindakan pengecut bermental kerupuk.
Seharusnya kita menyadari bahwa seandainya
kita mengikuti statemen itu sama saja kita bahu membahu dalam kemungkaran sedangkan
hal yang demikian haram dalam Islam.
Rasul bersabda dalam sebuah hadits
lebih kurang isinya seperti ini “apabila kita menjumpai kemungkaran maka hal
pertama yang harus dilakukan, cegahlah dengan tanganmu, bila engkau tidak mampu
maka cegahlah dengan perkataan, namun bila tidak mampu juga maka kutuklah
perbuatan keji (kemungkaran) itu dalam hatimu yang demikian adalah
selemah-lemahnya iman”. Saya ingin memberikan apresiasi kepada WH yang telah
dan sedang menjalankan syariat Islam dengan gagah berani mencegah kemungkaran
dengan tangan (perbuatan/kekuatan) hampir semua rakyat Aceh bangga dengan anda (WH).
Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak
orang salah memahami suatu hukum syariah. Seperti aurat perempuan, banyak
wanita yang menyangka mereka hanya wajib mengenakan pakaian yang menutupi aurat
saja, sekedar tak terlihat tubuh saja. Namun bentuk tubuhnya terlihat dengan
jelas. Ironis sekali kalau pemahamannya hanya sebatas itu. Padahal mereka harus
berpakaian yang longgar sehingga tidak terlihat bentuk/lekuk tubuhnya.
Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a: rasul bersabda
“ada dua penduduk neraka yang belum terlihat oleh ku; 1. Kaum yang memiliki
cambuk seperti seekor sapi dan cambuk itu digunakan untuk memukul orang. 2.
Wanita-wanita yang berpakaian akan tetapi sama halnya mereka telanjang
(pakaiannya terlalu tipis, ketat, dan lekuk tubuhnya masih nampak jelas yang
tetap merangsang para pria), dan wanita-wanita yang mudah dirayu atau pandai
merayu. Rambut mereka disasak laksana punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak
akan masuk syurga dan bahkan tidak bisa mencium bau syurga, padahal bau syurga
dapat dicium dari jarak yang sangat jauh”. Semoga
para wanita yang demikian menyadari dan kembali ke jalan yang diridhai Allah.
Kalau kita bertanya pada ahlinya maka jawaban yang kita dapat adalah TOLERANSI MEMILIKI BATAS. Kembali ke toleransi yang menoleransi penzina dan orang-orang yang melanggar aturan Allah, menurut referensi saya Al-qur’an dan hadits yang asli yang berasal dari rasulullah, saya tidak mendapatkan satu rujukanpun tentang menoleransi perbuatan yang keji dan mungkar jadi hal semacam itu tidak dapat ditoleransi. Apalagi menyangkut aurat wanita yang dampak negatif yang bisa ditimbulkannya begitu besar. Saya akan memberi sebuah contoh yang logis “seorang wanita dengan pakaian ketat dan lekuk tubuhnya nampak jelas terlihat, hal ini akan mengundang para pria untuk melirik, mengganggu, menggoda, dan yang sangat dikhawatirkan timbulnya sexual drive (nafsu) maka terbuka lebarlah pintu pemerkosaan atau pelecehan”. Jika wanita itu diperkosa siapa yang salah? Paling pelakunya dipenjara sesaat.
Namun bila kita menjalankan syariat
Islam. Wanita berpakaian yang Islami menutupi aurat dan lekuk tubuhnya tak
terlihat, bila pria melihatnya maka pria harus menundukkan pandangannya dan
seandainya pria tersebut tetap memperkosanya maka hukuman dera 100
kali+dilempari siapa saja yang melihat dan hukuman sampai mati bagi yang sudah
menikah diberlakukan baginya. Kalau
ini yang diterapkan Saya ingin bertanya, apakah kasus pemerkosaan dan perzinaan
bertambah atau berkurang? Jawabannya sudah pasti berkurang.
Sebuah program di channel International yaitu “BBC” yang membicarakan
tentang sebuah negara seperti Nigeria yang memberlakukan syariat Islam dan
menjalankan hukuman cambuk 100 kali sampai mati bagi pemerkosa dan penzina,
kasus pemerkosaan dan hubungan badan diluar nikah (perzinaan) menurun drastis.
Sebaliknya America negara yang mengagungkan kebebasan/toleransi tanpa batas.
Laporan Statistik America di Washington mencatat telah terjadi 1750 kasus
pemerkosaan setiap harinya pada tahun 1990. Pada tahun 1996 Departemen Keadilan
America telah mencatat 2730 kasus pemerkosaan yang terjadi setiap harinya. Ini
berarti telah terjadi satu kasus pemerkosaan setiap 20 detik, coba anda
bayangkan kita sedang duduk di kampus selama 2 jam berarti sudah terjadi 200
kasus pemerkosaan lebih di America. Bagaimana dengan kasus perkosaan pada tahun
2009? Wallahu a’lam itu yang dapat kita katakan.
Kalau Aceh dibiarkan berlarut-larut
seperti ini bukan tidak mungkin akan terjadi hal yang sama seperti di America.
Negara yang kasus pemerkosaan terkecil di dunia adalah Arab Saudi, namun masih
ada juga yang salah disana, tetapi ada yang bisa dipelajari. Ada sebuah kata
bijak yang saya ingat yaitu “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Mari kita
cegah bersama agar hal yang menimpa America tidak terjadi di Aceh.
5. Tanggung Jawab Syariat Islam
Penerapan syariat Islam yang khaffah
adalah tanggung jawab pemerintah (WH) dan masyarakat umumnya, namun pada
dasarnya tanggung jawab itu secara utuh juga dipikul oleh kepala keluarga.
Lingkungan pertama itu adalah keluarga, kepala keluarga sebagai nakhoda dalam
sebuah rumah tangga bertanggung jawab untuk memberikan pemahaman tentang Islam
yang lengkap dan benar kepada seluruh anggota keluarga. Tidakkah pakaian
kebanyakan putri-putri remaja muslim semakin aneh-aneh, span, transparan dan
semakin tidak sopan? Bahkan di jalanan seputaran Darussalam saja banyak sekali
muda mudi/putra putri secara terang terangan berboncengan, muda mudi memadu
kasih di atas kendaraan tanpa hubungan yang sah. Ini tamparan keras bagi daerah
yang digelar SEURAMOE MEKKAH. Tidakkah kita malu?
Perilaku kebanyakan kita belum
mencerminkan Al-qur’an dan budaya hidup kita bukan budaya yang bersumber dari
Al-qur’an. Justru malah sebaliknya ummat terasa makin jauh dari ajaran
Al-qur’an. Tidakkah budaya barat telah menjadi pedoman kebanyakan orang-orang
yang berKTP Islam bukan lagi Al-qur’an dan hadits? Ironis memang.
WH selaku petugas yang sangat
berwenang dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Kokohkan dan bumikan tugas
mulia ini, “sekali kaki melangkah ke depan pantang surut mundur ke belakang”
sedikit kutipan membumikan cita-cita ala rasulullah. Ketika para sahabat rasul
berhenti menggali parit untuk pertahanan di Madinah karena batu besar yang tak
bisa dihancurkan, kemudian kabar itu terdengar juga oleh rasul kemudian beliau
datang dengan sebuah beliung. “Bismillah” beliau menghantam pukulan pertama
disertai lafadz”Allahu akbar” aku diberi kunci Negeri Syam demi Allah aku
melihat istananya yang merah, yang kedua”Allahu akbar” aku diberi kunci Negeri
Persia, demi Allah aku melihat istananya yang putih, yang ke tiga”Allahu akbar”
aku diberi kunci Negeri Yaman demi Allah aku benar-benar melihat pintu syan’a
dari tempatku ini. Harcurlah batu itu kemudian nabi bersabda “aku diberi tahu
Jibril bahwa ummatku akan menguasai semuanya”.
Potret cita-cita rasul itu sangat
luar biasa, ucapan-ucapan beliau itulah cita-citanya dan pukulan bertubi-tubi
itu merupakan usaha yang pantang menyerah untuk meraih kesuksesan. Begitu juga
halnya dengan syariat Islam di Aceh sendiri. Namun sayangnya hal itu masih belum
terealisasi sampai saat ini. Memang menjalankan syariat Islam bukanlah hal
mudah namun itulah tantangan yang harus dihadapi umat Islam, Aceh khususnya.
Disadari atau tidak perlawanan dan penolakan terhadap syariat Islam sudah
mendunia (Internasional). Di Aceh sendiri banyak kendala dan kontroversi di
kalangan tokoh Aceh sendiri. Memang segelintir orang yang tidak setuju untuk
tegaknya syariat islam di Aceh, malah didukung dengan berbagai alasan yang
kurang logis. Takut investor tidak tidak berinvestasilah, hak asasi manusialah
Padahal sudah fakta bahwa Islam the only solution. Mungkin mereka takut
kehilangan yang mereka sebut dengan kesenangan merekalah hedonisme,
sayangnya justru mereka orang-orang yang berpengaruh. Sekali lagi dukungan
untuk WH neukap igoe neu sepot teh yang neu tumee “keraskan tekat tangkap
siapapun dia tanpa pandang bulu” itu baru syariat Islam. Allahuakbar!!!
6. Dinamika Hukum Setelah
Gempa dan Tsunami
Dalam hiruk pikuk ‘darurat sipil’
diatas gempa dan tsunami menerjang sebagian besar wilayah NAD, yang tidak hanya
menghancurkan infrastruktur Fisik, tetapi juga merusak tatanan kehidupan
masyarakat termasuk hukum. Peristiwa yang maha dahsyat tersebut telah merenggut
ratusan ribu nyawa manusia, menghancurkan infrastruktur, pertokoan, rumah,
hilangnya dokumen identitas, dan dokumen hukum lainnya.
Dalam masa darurat telah terjadi pula
berbagai tindak kejahatan seperti penjarahan, perampasan hak milik,
dugaan terjadinya perdagangan anak (child trafficking) dan kurangnya
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Seiring dengan tindak kejahatan
tersebut, telah muncul pula masalah hukum lain yang memerlukan penyelesaian
segera seperti masalah harta warisan, perkawinan, perceraian, perwalian,
pengasuhan anak, hak-hak kebendaan, dan terbatasnya akses masyarakat memperoleh
informasi hukum.
Realitas di atas menggambarkan
institusi publik termasuk institusi hukum dalam masa darurat tidak berfungsi
sama sekali. Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat), harus mampu
memberikan jaminan hak dan perlindungan hukum kepada warganya termasuk
dalam kondisi darurat. Warga negara semestinya merasakan bahwa hukum dapat
memberikan pengayoman tertentu. dalam setiap gerak dan langkahnya, tanpa
dibatasi oleh suatu keadaan
Hukum dalam kenyataan masyarakat
memiliki fungsi sebagai kontrol sosial (social control), instrumen penyelesaian
sengketa (dispute settlement) dan alat rekayasa masyarakat (social
engineering). Hukum sebagai kontrol sosial dirasakan sangat lemah. Kontrol
sosial formal melalui lembaga peradilan yang di dalamnya melibatkan kepolisian
dan kejaksaan, tidak mampu memberikan jera kepada pelanggar hukum. Dalam kasus
korupsi misalnya, hukum seperti tidak berdaya berhadapan dengan koruptor
yang diback-up oleh oknum aparat penegak hukum. Namun, pada sisi lain, hukum
terkesan tegas jika yang dihadapi adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan.
Dalam konteks ini pula, kontrol
sosial oleh masyarakat melalui mekanisme adat juga dirasakan sangat tidak
berdaya. Warga mulai tidak lagi merasakan perlunya sanksi adat terhadap
pelanggaran norma sosial, norma hukum dan norma agama. Akibatnya
tidak ada lagi rasa segan dan takut melanggar hukum dalam menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Realitas ini memperlihatkan krisis nilai adat
dalam kenyataan sosial. Padahal adat merupakan norma yang paling dekat
dengan kehidupan masyarakat.Hukum sebagai instrumen penyelesaian sengketa
(dispute settlement) sebenarnya sudah mulai mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat. Dalam bidang keperdataan misalnya, masyarakat sudah mulai memilih
proses hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan (arbitrase). Hukum
akhirnya begitu mahal, birokratis, dan jauh dari rasa keadilan. Dalam
penyelesaian kasus melalui jalur peradilan, masyarakat berhadapan dengan
kondisi lain di mana, masih dirasakan semangat aparatur penegak hukum yang
lemah.
Dimensi terakhir dari fungsi
hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial. Hukum yang dihasilkan harus mampu
menciptakan kondisi yang mengarahkan warga agar berprilaku baik, dan dapat
membawa kesejahteraan baik bagi individu maupun lingkungan sosial. Hukum harus
mampu merespon setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
dimensi ini hukum bersifat dinamis dan tidak bersifat statis. Ketiga dimensi
hukum di atas sudah semestinya diwujudkan dalam negara yang menjunjung
tinggi hukum dan keadilan.
WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye
menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam
masyarakat. WH tidak boleh
sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar.
7. Pengalaman Aceh
Aceh menjadi daerah yang unik dengan membentuk dan mengembangkan kembali institusi keIslaman yang nyaris punah ini. Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di bawah Dinas Syariat Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai "jantung" dalam Dinas Syariat Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan syariat. Untuk itu
landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas WH menegakkan syariat.
Aceh menjadi daerah yang unik dengan membentuk dan mengembangkan kembali institusi keIslaman yang nyaris punah ini. Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di bawah Dinas Syariat Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai "jantung" dalam Dinas Syariat Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan syariat. Untuk itu
landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas WH menegakkan syariat.
Landasan hukum tersebut perlu juga
mengatur bagaimana memilih dan mengangkat anggota WH. Sepatutnya orang yang menduduki jabatan WH bukanlah orang sembarangan, ia mestilah orang yang terkenal baik dan saleh, tidak berperangai buruk, mengetahui hukum-hukum Islam, berintegrasi dan professional. Kalau kita merujuk kitab-kitab lama yang membahas WH, maka kita akan dapati ulama-ulama terkenal menduduki jabatan ini. Kesalahan dalam melantik petugas WH akan menimbulkan kemarahan
masyarakat yang berujung pada penentangan eksistensi institusi ini secara keseluruhan.
Pembentukan institusi ini sebenarnya
adalah sangat positif dan perlu dukungan padu semua pihak. Terutama ketika budaya amar ma'ruf nahi mungkar semakin hilang di kalangan masyarakat. Kunci kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud, yaitu masyarakat dengan standar moral yang tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, WH tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat pemerintah lainnya telah gagal menumbuhkan kesadaran melaksanakan syari'at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar anda